Hariansukabumi.com- Orang-orang Maluku di Belanda merasa terabaikan dengan berbagai perlakuan buruk yang mereka terima dari pemerintah Belanda, apalagi setelah Ratu Juliana pada 25 November 1975 berpidato, yang isinya memberi kemerdekaan pada Suriname. Hal itu makin membuat mereka merasa kecewa.
Seperti Suriname, orang-orang Maluku juga diberi janji akan memperoleh kemerdekaan, namun hal itu tidak diwujudkan pemerintah Belanda, malahan memberi kemerdekaan terlebih dahulu pada Suriname, hal tersebut menimbulkan kecemburuan serta kemarahan orang-orang Maluku di negara Kincir Angin tersebut
Sebelumnya orang-orang Maluku yang berada di Belanda tersebut kebanyakan adalah tentara KNIL yang dipindahkan ketika masa kemerdekaan Indonesia, dimana pada saat itu posisi Belanda sudah sangat lemah. Kemudian dibawalah orang-orang yang telah di anggap berjasa pada kerjaan Belanda di Indonesia tersebut.
Mereka dijanjikan oleh pemerintah Belanda bahwa mereka akan mendapatkan negara merdeka sendiri, yaitu Republik Maluku Selatan (RMS). Selama kira-kira 25 tahun mereka tinggal di kamp-kamp sementara, seringkali dalam kondisi yang memprihatinkan. Setelah bertahun-tahun generasi muda Maluku merasa dikhianati oleh pemerintah Belanda karena tidak memberikan negara merdeka.
Untuk mendapat perhatian pemerintah Belanda mereka memulai tindakan radikal

Singkatnya seminggu setelah pemberian kemerdekaan pada Suriname tepatnya pada 2 Desember 1975, tujuh orang membajak sebuah kereta api yang di dalamnya terdapat sekitar 50 penumpang, pembajakan tersebut terjadi di pedesaan terbuka dekat desa Wijster, di tengah jalan antara Hoogeveen dan Beilen di bagian utara Belanda.
Pembajakan berlangsung selama 12 hari dengan tindakan yang brutal dimana sang masinis, Hans Braam, dibunuh pada hari pertama pembajakan.
Pada hari ketiga, pembajak juga membunuh seorang tentara Belanda Leo Butler berusia 22 tahun, karena pemerintah tidak memberikan apa yang mereka inginkan. Kedua jenazah yang telah mereka bunuh dibuang keluar dari kereta. Beruntung pada malam tersebut 14 orang sandera berhasil melarikan diri dari kereta maut tersebut.
Beberapa tuntutan dari pembajak adalah agar dikirimkan pesawat untuk digunakan menuju tempat yang dirahasiakan. Pemerintah Belanda dituntut untuk memublikasikan keluhan-keluhan orang Maluku di Belanda. Serta penyelsaian masalah ketidakadilan terhadap orang Maluku, memberikan panggung kepada pemimpin komunitas Maluku Selatan, hingga mengadakan pertemuan antara pihak Indonesia, Belanda, dan PBB, bersama Republik Maluku Selatan (RMS).
Menteri Hukum Belanda, Andries van Agt memberikan respons, dikutip dari The Times edisi 3 Desember 1975:
“Mereka menuntut agar mereka diizinkan pergi dengan sandera. Kami tidak pernah menyerah pada tuntutan seperti itu, bahkan ketika teroris Jepang menahan Duta Besar Prancis tahun lalu, dan kami tidak akan menyerah sekarang. Lebih jauh lagi, sekarang orang-orang ini telah membunuh, kita tidak bisa membiarkan mereka meninggalkan Belanda sama sekali.”
Melihat tidak adanya tuntutan yang direspon oleh pemerintah, pembajak kembali melakukan aksi
Selanjutnya aksi bar-bar mereka itu jatuh pada seorang ekonom muda Bert Bierling, ia menemui ajalnya dengan tidak kalah tragis. Bert Bierling dibawa ke pintu dan ditembak mati mayatnya dibuang keluar kereta. Kematiannya itu disaksikan oleh banyak pasang mata. polisi, tentara serta pers menyaksikan secara langsung kematian warga Belanda yang malang itu, sedangkan mereka tidak bisa berbuat apa-apa
Pembajak juga mengancam untuk tidak membawa mayat yang sudah dibuang, mayat itu, mereka katakan hanya boleh dibawa pergi setelah beberapa hari
Pada tanggal 5 Desember, salah satu kejadian membuat salasatu gerbong meledak, ledakan itu mengakibatkan lima pembajak dan tiga tawanan terluka
Setelah 12 hari drama pembajakan berlanhsung, pada 14 Desember 1975 akhirnya ketahan fisik dan mental mereka mulai lemah, kemudian ketujuh para pembajak tersebut menyerah. Di antara alasan penyerahan disebut-sebut lantaran adanya laporan tentang pembalasan di kepulauan Maluku. Serta suhu yang sangat dingin di bawah nol derajat juga menjadi alasan penyerahan.
Para pembajak tersebut dikenai kurungan penjara selama 14 tahun, dan Eli Hahury, salah satu pembajak yang paling fanatik akhirnya bunuh diri di penjara pada 1978
Harvi
Sumber : Natinonal geographic & Wikipedia