Dalam era globalisasi yang semuanya semakin terhubung, keberagaman menjadi sebuah keniscayaan. Namun, di tengah keberagaman ini, seringkali muncul tantangan dalam menerima perbedaan, terutama perbedaan agama dan latar belakang.
Faktor-faktor seperti pengaruh media sosial yang polarisasi, politik identitas, dan kurangnya pendidikan tentang keberagaman seringkali memicu intoleransi.
Toleransi dan pluralisme bukan hanya sekadar slogan, melainkan nilai-nilai fundamental yang harus dijunjung tinggi. Dengan saling menghormati dan menghargai perbedaan, kita dapat membangun masyarakat yang lebih harmonis dan damai. Agama-agama besar di dunia mengajarkan nilai-nilai kasih sayang, persaudaraan, dan keadilan. Nilai-nilai inilah yang seharusnya menjadi dasar dalam membangun hubungan antar umat beragama maupun hubungan bermasyarakat dalam bernegara.
Namun dalam konteks Pilkada di Kabupaten Sukabumi, ternyata masih banyak yang menggunakan isu ini sebagian bahan kampanye dalam menjatuhkan seseorang.
Beberapa hari ke belakang ini terutama di sosial media di Facebook, H. Andreas sebagian calon wakil bupati Sukabumi mendapat serangan dari beberapa akun yang tidak dikenal, dengan mengarahkan secara halus pada netizen untuk memberi stigma terhadap H. Andreas. Dengan latar belakang suku dan etnis yang dimiliki oleh H. Andreas, pemilik akun tersebut membuat narasi bahwa suku dan etnis tertentu menjadi sesuatu yang ‘terlarang’ untuk menjadi seorang pemimpin di Kabupaten Sukabumi.
Apa yang dikemukakan oleh si pembuat narasi tersebut bisa dikatakan merupakan sebuah politik identitas. Yang mana dia mengidentifikasi seseorang itu dengan atribut sosial seperti agama, etnis, suku, gender dan lain sebagainya
Padahal di dalam konstitusi kita, setiap orang yang memenuhi syarat yang telah ditentukan undang-undang, maka dia berhak untuk menjadi seorang pemimpin. Terlepas dari suku mana dia berasal atau agama apapun yang dipeluknya.
Saya seringkali mempunyai pertanyaan, apakah mereka-mereka ini tidak pernah membayangkan apabila dia, atau saudara, teman, dan handai-taulannya yang berada di daerah lain, yang posisinya mungkin sebagai minoritas sebagai mana yang dialami oleh H. Andreas ini? Dan bagaimana perasaannya, bila perlakuan itu mereka terima dengan cara yang sama? Saya pikir pasti sangat menyakitkan.
Namun yang jelas pola semacam itu hanya akan memancing polarisasi yang mengakibatkan perbedaan yang tajam. Dan pada akhirnya akan saling berseteru bahkan menjadi perpecahan. Jelas, cara yang dilakukan oleh oknum tersebut merupakan pilihan yang sangat tidak bijak dan akan menghambat upaya untuk membangun masyarakat yang inklusif dan demokratis
Sedikit flashback ke belakang. Saya secara pribadi pernah berbincang dengan H. Andreas, terkait permasalahan ini jauh sebelum isu ini muncul.
Dan ketika itu saya mengajukan pertanyaan “bagaimana bila nanti ada yang memunculkan isu sara sebagai bahan kampanye untuk menjatuhkan Anda?”
Dia menjawab “Saya menyadari bahwa keputusan saya untuk terjun ke dunia politik memunculkan berbagai pertanyaan dan pendapat baik yang pro maupun kontra. Dan itu sudah saya pikirkan secara matang. Namun, dengan niat yang dilandasi semata-mata hanya ingin memberikan kontribusi yang terbaik bagi masyarakat, untuk itu saya jalani saja. Saya percaya bahwa setiap individu memiliki potensi untuk membuat perubahan positif terutama di kabupaten Sukabumi ini dan pertanyaannya apakah potensi itu akan ia gunakan atau tidak tentu itu tergantung dari pribadi masing-masing, kalau saya jelaskan dan hati saya saya sudah mantap untuk menggunakan potensi tersebut. Sementara, untuk hal lainnya saya akan menyerahkan sepenuhnya kepada Allah SWT yang maha lebih mengetahui”. Ketika ia memberikan jawaban itu, saya lihat dia begitu tenang, bahkan saya lihat tidak ada perubahan riak dari wajahnya
Azhar Vilyan
Warga Kabupaten Sukabumi yang berdomisili di Cibadak.