Hariansukabumi.com- KH. Ahmad Sanusi adalah seorang Ulama Nusantara yang lahir pada hari Jumat 12 Muharram 1306 H atau tanggal 18 September 1888 di Desa Cantayan, yang dulunya masuk ke Kecamatan Cibadak Kabupaten Sukabumi.
Beliau adalah putera dari Ajengan KH. Abdurrahim bin H. Yasin bin Nurzan yang nasabnya terhubung ke Baginda Rasulullah Muhammad SAW
Meski beliau keturunan Nabi Muhammad SAW, namun beliau menyembunyikan identitasnya.
Ayah KH. Ahmad Sanusi merupakan pengasuh pesantren Cantayan di Sukabumi. Semasa kecil, beliau akrab dipanggil dengan sebutan “Si Uci”. Sebagai putera seorang Ajengan, beliau sudah terbiasa dengan lingkungan pesantren untuk belajar agama. Namun, menjadi seorang putera Ajengan juga membuat KH. Ahmad Sanusi menjadi pusat perhatian banyak orang
Meskipun begitu, KH. Ahmad Sanusi hanyalah seorang anak biasa yang sama seperti anak lain pada umumnya.
Pada usia 7 hingga 10 tahun, beliau sering melakukan kegiatan seperti teman sebayanya yaitu menggembala kambing, kerbau, atau kuda. Sejak kecil pula, KH. Ahmad Sanusi mempelajari Ilmu Agama di Pesantren milik ayahnya hingga memasuki usia 16 tahun. Setelah dianggap cukup dewasa, memasuki usia 17 tahun, beliau disuruh orang tuanya untuk belajar di luar pesantren yang dipimpin ayahnya, guna mendalami Ilmu Agamanya, menambah pengalaman dan memperluas pergaulan
Kemudian beliaupun belajar selama 6 bulan di Pesantren Selajambe Cisaat yang dipimpin KH. Muhammad Anwar. Kedua, berguru selama 2 bulan kepada KH. Muhammad Siddik di Pesantren Sukamantri Cisaat. Ketiga, belajar selama 6 bulan kepada KH. Djenal Arif/Ajengan Sulaeman/Ajengan Hafidz di Pesantren Sukaraja. Kemudian, beliau berguru di wilayah luar Sukabumi yaitu selama setahun untuk belajar tasawuf di pesantren Cilaku Cianjur dan belajar di pesantren Ciajag Cianjur selama 5 bulan.
Setelah itu beliau berguru selama 6 bulan kepada KH. Ahmad Satibi di Pesantren Gentur di Desa Jambudipa Kecamatan Warungkondang Cianjur. Berguru di Pesantren Buniasih Cianjur selama 3 bulan. Selanjutnya, dari Cianjur beliau berguru ke Pesantren Keresek Blubur Limbangan Garut selama 7 bulan dan 4 bulan di Pesantren Sumursari Garut. Kemudian berguru kepada KH. Suja’i di Pesantren Gudang Tasikmalaya 1 tahun.
Setelah belajar dan berguru ke berbagai pesantren, pada tahun 1909 KH. Ahmad Sanusi kembali ke Sukabumi dan belajar di Pesantren Babakan Selawi Baros Sukabumi. Ketika belajar di Pesantren Babakan selawi, KH. Ahmad Sanusi bertemu dengan seorang gadis yang bernama Hj. Siti Djuwairiyah yang merupakan putri dari KH. Affandi dari Kebon Pedes. Maka menikahlah KH. Ahmad Sanusi dengan Hj. Siti Djuwauriyah
Setelah menikah dengan Hj. Siti Djuwairiyah, tekad KH. Ahmad Sanusi untuk mencari dan memperdalam ilmu tidak surut begitu saja. Pada tahun 1910, KH. Ahmad Sanusi bersama sang istri berangkat ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji. Namun, setelah masa haji sudah usai, beliau dan sang istri tidak segera pulang ke tanah air, tetapi mereka memutuskan untuk menetap di kota Makkah Al-Mukarramah kurang lebih sekitar 5 tahun.
Di kota Mekkah KH. Ahmad Sanusi melanjutkan belajar Ilmu Agama Islam dan sedikit pengetahuan umum kepada para ulama di kota tersebut. Di kota Mekkah ini beliau banyak berhubungan dengan berbagai pemikiran, mazhab serta tokoh-tokoh ilmuwan Islam di sana.
Selama 5 tahun tinggal di Kota Mekkah, KH. Ahmad Sanusi memanfaatkan waktunya dengan baik untuk mempelajari berbagai disiplin ilmu Agama Islam. Maka tidak heran apabila atas kepandaian ilmunya beliau mendapat penghargaan dari para Syeikh di Mekkah bahkan beliau juga mendapat kesempatan untuk menjadi imam shalat di Masjidil Haram.
Ada seorang Syeikh mengatakan, “Jika ada orang Sukabumi yang ingin memperdalam ilmu keagamaannya, ia tidak perlu pergi jauh-jauh ke Mekkah karena di Sukabumi telah ada seorang guru agama yang ilmunya telah cukup untuk dijadikan sebagai guru panutan yang pantas diikuti”. Bahkan sebelum pulang ke tanah air, KH. Ahmad Sanusi berkesempatan menjadi guru di Mekkah Al-Mukarromah tepatnya di Masjidil Haram.
Di suatu ketika sebelum kepulangan beliau ke Sukabumi terjadi insiden kecil. Beliaupun dipanggil penguasa Mekkah untuk menjelaskan persoalan yang beliau sampaikan kepada muridnya terkait wujud fisik Dajjal
KH. Ahmad Sanusi kemudian menyampaikan apa yang dikatakan kepada muridnya tersebut hanyalah sekedar menyampaikan apa yang sudah di jelaskan dalam Al-Quran, hadits, maupun kesepakatan Para Ulama.
Pihak penguasa merasa geram karena penjelasan yang disampaikan KH. Ahmad Sanusi memiliki kesamaan dengan penguasa yang ada di kota Mekkah kala itu. Sontak berita pemanggilannya tersebar ke seluruh wilayah Mekkah.
Ketika tiba waktu persidangan sekaligus eksekusi mati yang akan ditimpakan kepada KH. Ahmad Sanusi, ketika iti beliau telah didampingi dua algojo dengan pedang ditangannya yang siap memenggal leher KH. Ahmad Sanusi. Namun, dengan ilmu, kecerdasan serta kepiawaian beliau dalam beretorika ternyata mampu dan berhasil mematahkan argumen dari penguasa Mekkah yang akan mengeksekusi dirinya.
Dengan kekurangan bukti dan lemahnya argumen yang mereka lontarkan, Kemudian penguasa Mekkah pun membatalkan hukuman yang akan ditimpakan kepada beliau.
Berita pembatalan eksekusi tersebut sontak tersebar ke seluruh wilayah Mekkah bahkan sampai ke Tanah Air
Masyarakat Indonesia khususnya warga Sukabumi sangat bahagia karena hukuman pancung yang akan ditimpakan kepada ulama mereka ternyata tidak jadi dilaksanakan.
Lima tahun berlalu, tepatnya tahun 1915 KH. Ahmad Sanusi bersama istrinya pulang ke tanah air dan kembali ke Cantayan, Sukabumi.
Pada tahun 1921 beliau mendirikan pesantren di daerah Genteng Babakan Sirna, Cibadak, Sukabumi, kemudian pada tahun 1935 beliau mendirikan pesantren di Gunung Puyuh.
Sepanjang hidupnya KH. Ahmad Sanusi sangat produktif menuangkan gagasan pemikirannya dalam bentuk kitab atau risalah yang mencakup berbagai bidang. Tercatat kurang lebih ratusan karya telah beliau tulis dalam berbagai disiplin ilmu kegamaan Islam. Maka atas dasar tersebut tidaklah salah kalau Martin Van Brunessen menggolongkan KH. Ahmad Sanusi ke dalam para pengarang kitab yang terkenal pada zamannya.
Menurut penuturan keluarga dan kerabat KH. Ahmad Sanusi, sebetulnya masih banyak karangan lainnya yang belum dicatat dan masih dalam bentuk manuskrip (tulisan tangan) hingga jumlah keseluruhannya diperkirakan hampir mendekati angka sekitar 400-an judul kitab.
Tahun-tahun sebelum wafat KH. Ahmad Sanusi juga aktif dalam pergerakan kemerdekaan RI. Lebih kurang setelah 5 tahun Indonesia tepatnya 31 Juli 1950 beliaupun wafat di Pondok Pesantren Gunung Puyuh Sukabumi
Atas segala jasanya, pada tanggal 12 Agustus 1992 Presiden Soeharto menganugerahkan kepada KH. Ahmad Sanusi Bintang Maha Putera Utama
Dan pada tahun 2009 beliau juga dianugerahi Bintang Maha Putera Adipradana oleh Presiden Indonesia ke 5 Dr. H. Susilo Bambang Yudhoyono yang diterima oleh ahli waris beliau di Istana Negara
Azhar Vilyan
Disadur dari tulisan Dwi Indah Nursita