Hariansukabumi.com– Ali Akbar Navis, atau yang lebih dikenal dengan A. A. Navis Lahir di Kampung Jawa, Padang Panjang, Sumatra Barat pada 17 November 1924
Selain pintar dalam menulis cerita-cerita yang dapat membangkitkan perasaan yang mendalam bagi pembacanya A. A Navis mendapat “pencemooh nomor wahid” dan “sastrawan satiris ulung”. Itu tentu saja berkorelasi dengan gaya penulisan dan penggambaran karakter tokoh-tokoh yang kritis terhadap berbagai persoalan kehidupan dalam karya-karyanya
Julukan itu muncul dalam berbagai tulisan tentang Navis, antara lain sebagaimana yang muncul dalam majalah Sastra, Volume I, Edisi 3 Juli 2002.
Karya yang sangat terkenal dan fenomenal hingga diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, Jerman, Perancis, dan Jepang adalah Cerpen “Robohnya Surau Kami”. Sejak dipublikasikan dalam majalah Kisah tahun 1955 mendapat tanggapan yang luar biasa, baik dari pembaca umum maupun kritikus sastra.
Kemudian karya yang tak kalah menariknya adalah ‘Kemarau’ (1967). Novel ini menggambarkan bagaimana konyolnya manusia-manusia dalam menghadapi cobaan dari Tuhan, yaitu dengan kemarau yang panjang.
Penggambaran seperti itu muncul lagi dalam cerpennya yang berjudul “Jodoh”. Berbagai cemoohan terhadap tradisi, takhyul, rendahnya kedudukan perempuan, serta gaya hidup hedonis dengan menghamburkan uang untuk perhelatan sebagai “keharusan sosial” juga mewarnai karya-karyanya
Sebelumnya A. A Navis tidak ada niat untuk menjadi penulis, cita-citanya adalah menjadi seorang Pelukis atau Pematung.
Hasrat menulis A. A Navis muncul sejak ia membaca cerpen karya Hamka yang secara teratur dipublikasikan dalam Pedoman Masyarakat. Pertanyaan yang secara teratur menggodanya setelah membaca karya Hamka adalah “orang lain bisa menulis mengapa saya tidak?” Motivasi ini mendorongnya untuk menulis dan menulis.
Minat pokok Navis yang menjadi tema-tema karya-karyanya berkisar di seputar masalah manusia dan kemanusiaan seperti penderitaan, kegetiran, kebahagiaan, dan harapan.Warna lokal atau kedaerahan Minangkabau yang kuat merupakan sisi lain yang menarik dalam karya Navis.
Melalui karya-karyanya, Navis berhasil menempatkan idiom-idiom lokal Minangkabau dengan tetap menempatkannya dalam konteks yang lebih luas, yakni persoalan bangsa dengan konsep yang universal. Misalnya, cerpen “Robohnya Surau Kami”, menampilkan warna Minangkabau yang kental, tetapi persoalan yang diangkatnya adalah persoalan agama dan fungsi ulama yang kian terpinggir dalam masyarakat modern. Di samping itu, Navis juga banyak menggunakan kata dan rasa bahasa yang sangat kental oleh budaya Minangkabau.
Sebagai sastrawan, A.A. Navis telah meraih sejumlah penghargaan atas karya-karya yang dihasilkannya, antara lain (1) “Robohnya Surau Kami” dinobatkan sebagai cerpen terbaik majalah Kisah tahun 1955. (2) “Saraswati, si Gadis dalam Sunyi” ditetapkan sebagai cerpen remaja terbaik oleh Unesco/Ikapi tahun 1988, (3) Tahun 1970 Navis memperoleh penghargaan dari Radio Nederland pada acara sayembara menulis cerpen Kincir Emas atas cerpennya yang berjudul “Jodoh”, (4) Tahun 1971 memperoleh penghargaan dari majalah Femina untuk cerpennya yang berjudul “Kawin”, (5) Tahun 1988 mendapat anugerah Hadiah Seni dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, (6) Tahun 1992 memperoleh Hadiah Sastra South East Asia Write Award dari Kerajaan Thailand, dan (7) Tahun 2000, A.A. Navis memperoleh Satyalencana Kebudayaan dari Pemerintah Republik Indonesia. Tidak hanya itu, cerpen-cerpennya pun selalu terpilih sebagai cerpen terbaik pilihan Kompas. Sejak tahun 1992 hingga tahun 2002
Hal lain yang patut dikemukakan dari karya-karya Navis adalah adanya dialog-dialog yang tampil menarik, latar sosial yang digarap secara meyakinkan, dan berbagai masalah orang Minang yang merupakan suatu hal yang dianggap penting. Hal tersebut dipandang penting karena mencuatkan pergulatan hidup-mati antara struktur sosial yang umum berlaku dan tuntutan kuat akan perubahan pada kehidupan masyarakat Minang itu sendiri. Hal itu tampak sangat jelas dalam ajakannya untuk berusaha keras dalam memenuhi kebutuhan hidup, penggunaan akal dan ilmu pengetahuan dalam mengubah nasib, dan meningkatkan taraf kehidupan. Semua itu dapat dilihat dalam novelnya yang berjudul ‘Kemarau’
Selain karya kreatif, Navis juga menghasilkan beberapa karya nonkreatif, antara lain Alam Terkembang Jadi Guru yang diterbitkan tahun 1985. Buku itu terkenal sebagai referensi dalam mempelajari adat dan tradisi Minangkabau
A. A Navis Wafat pada tanggal 22 Maret 2003 di Padang pada usia 78 tahun.
Selama 50 tahun berkarya dapat dicatat bahwa A.A. Navis telah menghasilkan sekitar 23 judul buku. Jumlah itu belum termasuk karyanya yang ditulis bersama sastrawan lain berupa antologi yang ditulis lebih dari 70 judul cerpen yang tersimpan rapi dalam perpustakaan pribadinya.
Harvi
Sumber: Ensiklopedia Sastra Indonesia