Hariansukabumi.com- Nama Hiroo Onoda menjadi legenda tersendiri di Jepang karena pengalamannya selama 30 tahun bertahan hidup di hutan Filipina.
Ia menjadi contoh tentang kesetiaan dan semangat Bushido pada prajurit Jepang.
Kisah perjalanan hidup Hiroo Onoda yang heroik bermula saat ia ditugaskan ke Filipina saat usianya masih 22 tahun.
Tepat pada 24 Desember 1944 ia dikirim ke Pulau Lubang di Filipina
dan mendapat perintah untuk mencegah serangan Amerika Serikat ke pulau itu

Seelumnya Onoda dipercayai telah dilatih di akademi Nakado akademi yang dirancang untuk dunia spionase dan intelijen. Ia mendapat pangkat perwira pertama
Tak lama setelah Onoda berada di Pulau Lubang, tepatnya pada 28 Februari 1945 tentara Amerika Serikat pun mendarat di Pulau Lubang. Pertempuran pun tidak dapat dicegah. Hampir semua tentara Jepang yang dikirim ke Lubang menyerah atau tewas. Tapi ia dan tiga prajurit lainya masih bertahan, karena sebelum pemberangkatan ia diperintahkan agar tidak menyerah dalam kondisi apapun sebelum ada perintah.

Sampai akhirnya Perang Dunia II pun berakhir dan Jepang sudah menyerah kepada Sekutu setelah peristiwa Bom Atom di Hiroshima dan Nagasaki. Namun karena ia tidak mempunyai akses komunikasi ke dunia luar sehingga ia tidak mengetahui peristiwa pahit bagi bangsa Jepang tersebut.
Meskipun Onoda pernah mendapat mendapat selebaran yang isinya tentang berakhirnya perang dan para prajurit di Lubang diperintah untuk keluar dan kembali ke negaranya.
Karena karirnya di bidang intelijen dan banyak memahami propaganda dari musuh, dan dia mengira itu hanya bagian dari propaganda sekutu, agar ia bisa menyerah
Di tengah rimba belantara, Ia masih pecaya bahwa ia akan tetap bisa menguasai pulau dan segera akan memberi kabar baik bagi pemerintahan Jepang. Bersama prajurit yang tersisa, Yuichi, Akatsu, Prajurit Satu Kinshici Kozuka, dan Kopral Soichi Shimada. Mereka lanjutkan perlawanan pada sekutu serta polisi Filipina yang ia kira bagian dari tentara sekutu
Tercatat pada tanggal 7 Mei 1954, Kopral Soichi Shimada tewas tertembak oleh pasukan lokal yang memang dibentuk untuk menemukan sisa tentara Jepang. Lalu Akatsu yang menyadari bahwa memang perang telah usai pergi ke tengah warga, lalu kemudian dibawa polisi Phlipina dan dilajutkan oleh kedutaan Jepang untuk dibawa kembali ke negara asalnya.
Dan kemudian pada 19 Oktober 1972 Prajurit satu-satunya yang menemani Onoda selama puluhan tahun di hutan Kinshici Kozuka menyusul tewas karena ditembak oleh polisi Filipina. Disebabkan laporan penduduk desa yang mengatakan bahwa masih ada sisa prajurit Jepang yang berkeliaran sambil menganggu warga desa.
Beberapa tahun setelah ditinggalkan Kozuka, Onoda masih bertahan hidup di hutan dan tinggal di gubuk bambu sederhana meski ia sudah semakin tua. Onoda masih menyimpan seragam dan senjatanya. Untuk menyambut apabila ada kedatangan perwira tinggi untuk melakukan inspeksi ke sana
Onoda bertahan hidup dari buah-buahan dan tanaman yang ada di hutan. Dan Sesekali ia mencuri beras serta hewan ternak warga.
Pada tahun 1974 ia dibujuk oleh atasannya Mayor Yoshimi yang dahulu memberi perintah, untuk segera meninggalkan Pulau Lubang.
Mayor Yoshimi pun kemudian membacakan maklumat dari Kaisar agar para prajurit berhenti untuk berperang, karena perang telah usai.
Akhirnya Onoda pun mau untuk kembali ke Jepang. Tapi sebelumnya ia menemui Ferdinand Marcos, presiden Filipina kala itu untuk menyerahkan pedang.

Karena kagum dengan dedikasinya pada negara, Ferdinand Marcos pun memberi pengampunan kepadanya, meski telah menewaskan 30 orang warga Filipina.
Saat tiba di Jepang, ia disambut seperti pahlawan. Pengalamannya selama di Filipina pun dimuat di berbagai media di Jepang.
Pada tahun 1974 itulah ia menerbitkan buku autobiografi berjudul No Surrender: My Thirty-Year War yang isinya menceritakan tentang detail kisahnya selama di hutan Filipina. Pemerintah Jepang sempat ingin memberikan gaji yang seharusnya diterimanya selama ini, tapi ia menolak. Dan juga diceritakan Onoda sempat kembali ke Pulau Lubang dan memberikan bantuan pada masyarakat di sana.
Di akhir hayatnya, Onoda terkena serangan jantung. Setelah menjalani perawatan di Rumah Sakit St. Luke International, Tokyo dan meninggal dunia pada usia yang cukup tua 91 tahun, tepatnya tanggal 16 Januari 2014
Harvi