Hariansukabumi.com- Raden Ngabehi Ronggowarsito adalah seorang pujangga besar yang lahir di tanah jawa tepatnya di Surakarta pada tanggal 15 Maret 1802
Nama aslinya adalah Bagus Burhan sedangkan ayahnda nya adalah Mas Pajangswara. Darah pujangga telah mengalir ditubuhnya sejak kakek buyutnya Yasdipura II menjadi pujangga utama di Kesunanan Surakarta
Ayah Bagus Burhan merupakan keturunan Kesultanan Pajang sedangkan ibunya adalah keturunan dari Kesultanan Demak. Bagus Burhan diasuh dan dibesarkan oleh seirang arif bijaksana yang bernama Ki Tanujaya abdi dari ayahnya
Ronggowarsito wafat pada tanggal 24 Desember 1873 di Surakarta dan dimakamkan di Desa Palar Kecamatan Trucuk Kabupaten Klaten
Menurut Kanjeng Pangeran Norman Hadinegoro Karya-karya Ronggowarsito selain menjadi sebuah karya sastera yang indah, namun seringkali juga dianggap sebagai sebuah petuah dan nasehat.
Seperti yang terdapat pada Karya terakhir R.Ng.Ronggowarsito Serat Sabda Jati, di dalamnya menurut KP.Pangeran Hadinegero seorang pemerhati budaya terdapat banyak sekali kata-kata bijak dan nasehat yang sangat lembut. Di samping nasehat, pada karya sastera itu terdapat juga gambaran tentang bagaimana keadaan Nusantara di masa yang akan datang.
Inilah bunyi karya terakhir dari pujangga yang namanya makin hari makin dikenal itu
1. Hawya pegat ngudiya Ronging budyayu
Margone suka basuki
Dimen luwar kang kinayun
Kalising panggawe Sisip
Ingkang Taberi prihatos.
Jangan berhenti berusaha berbuat kebajikan,
jalan yang gembira dan selamat
agar tercapai cita-cita,
terhindar dari perbuatan tercela
tekunlah dalam laku prihatin.
2. Ulatna kang nganti bisane kepangguh
Galedehan kang sayekti
Talitinen aywa kleru
Larasen sajroning ati
Tumanggap dimen tumanggon.
Amatilah dengan seksama sampai ketemu
Geledahlah dengan sungguh-sungguh,
Telitilah jangan salah,
Rasakan di dalam hati,
Agar mudah menyikapi sesuatu.
3. Pamanggone aneng pangesthi rahayu
Angayomi ing tyas wening
Eninging ati kang suwung
Nanging sejatining isi
Isine cipta sayektos.
Letaknya ada dalam hati yang bersih
Terlindung dalam hati yang bening
Beningnya hati yang ‘kosong’
Tetapi sesungguhnya berisi
Isinya sebenar-benarnya cipta
4. Lakonana klawan sabaraning kalbu
Lamun obah niniwasi
Kasusupan setan gundhul
Ambebidung nggawa kendhi
Isine rupiah kethon.
Jalanilah dengan kesabaran hati
Bila bergeser (dari kebajikan) menyebabkan kehancuran.
Kemasukan setan gundul,
Menggoda membawa kendi
Berisi uang banyak.
5. Lamun nganti korup mring panggawe dudu
Dadi panggonaning iblis
Mlebu mring alam pakewuh
Ewuh mring pananing ati
Temah wuru kabesturon.
Bila terpengaruh oleh perbuatan yang buruk,
menjadi sarangnya iblis,
masuk dalam alam kesulitan,
repot dalam menuruti keinginan hati,
akhirnya mabuk kepayang.
6. Nora kengguh mring pamardi reh budyayu
Hayuning tyas sipat kuping
Kinepung panggawe rusuh
Lali pasihaning Gusti
Ginuntingan dening Hyang Manon.
Tidak tertarik kepada olah kebajikan
Kebaikan hati berlari kencang
diliputi perbuatan/pikiran buruk
Lupa kasihNYA Tuhan.
Dihapus oleh Allah.
7. Parandene kabeh kang samya andulu
Ulap kalilipen wedhi
Akeh ingkang padha sujut
Kinira yen Jabaranil
Kautus dening Hyang Manon.
Namun demikian semua yang melihat,
matanya silau kemasukan pasir,
banyak yang sujud
dikira iblis penggoda
diutus oleh Tuhan.
8. Yen kang uning marang sejatining dawuh
Kewuhan sajroning ati
Yen tiniru ora urus
Uripe kaesi-esi
Yen niruwa dadi asor.
Namun bagi manusia yang memahami intisari firman,
sebenarnya repot di alam pikiran
Bila diikuti duniawinya tak terurus
Hidupnya sengsara
Bila meniru menjadi nista.
9. Nora ngandel marang gaibing Hyang Agung
Anggelar sakalir-kalir
Kalamun temen tinemu
Kabegjane anekani
Kamurahane Hyang Manon.
Tak percaya kepada keghaiban Tuhan,
yang mencipta alam raya,
Bila berusaha dengan sungguh-sungguh akan memperoleh
kebahagiaan akan menghampiri.
(Karena) kemurahan Tuhan.
10. Hanuhoni kabeh kang duwe panuwun
Yen temen-temen sayekti
Dewa aparing pitulung
Nora kurang sandhang bukti
Saciptanira kelakon.
Mengabulkan semua yang mempunyai permintaan
Bila bersungguh-sungguh hati
Tuhan memberikan pertolongan
Tak kekurangan pakaian dan makanan
Semua keinginanmu terpenuhi.
11. Ki Pujangga nyambi paraweh pitutur
Saka pengunahing Widi
Ambuka warananipun
Aling-aling kang ngalingi
Angilang satemah katon.
Ki Pujangga sambil memberi nasehat
Berasal dari petunjuk Tuhan
Membuka tirai
yang menutupinya
Yang terlihat ‘maya’ /samar-samar.
12. Para jalma sajroning jaman pakewuh
Sudranira andadi
Rahurune saya ndarung
Keh tyas mirong murang margi
Kasekten wus nora katon.
Manusia di dalam jaman kerepotan,
Keburukannya kian menjadi-jadi
pikiran-pikiran jeleknya kian ngawur
Banyak hati yang tertutup jalan salah
keagungan jiwa sudah tidak tampak.
13. Katuwane winawas dahat matrenyuh
Kenyaming sasmita sayekti
Sanityasa tyas malatkunt
Kongas welase kepati
Sulaking jaman prihatos.
Lama kelamaan makin membuat sedih,
merasakan pertanda tersebut sungguh
senantiasa hati merenung
dan perasaan sangat sedih
selesainya masa keprihatinan
14. Waluyane benjang lamun ana wiku
Memuji ngesthi sawiji
Sabuk tebu lir majenum
Galibedan tudang tuding
Anacahken sakehing wong.
Berakhirnya besok bila ada pemimpin
memuji dan berupaya sungguh-sungguh
Berikat-pinggang tebu (?) bak orang gila
Hilir-mudik menunjuk-tunjuk
Menghitung jumlah manusia
(Catatan candra sengkala/angka tahun : Wiku=7, Memuji=7, Ngesthi=8, Sawiji=1.—> 1877 tahun Jawa, atau = tahun 1945 Masehi).
15. Iku lagi sirap jaman Kala Bendu
Kala Suba kang gumanti
Wong cilik bisa gumuyu
Nora kurang sandhang bukti
Sedyane kabeh kelakon.
Saat itulah selesai Jaman Kala Bendu.
Jaman Kala Suba (suka-suka) menggantikan .
Rakyat kecil bisa tertawa,
tak kekurangan pakaian dan makanan
kehendak dan cita-cita (kemerdekaan)nya tercapai.
16. Pandulune Ki Pujangga durung kemput
Mulur lir benang tinarik
Nanging kaseranging ngumur
Andungkap kasidan jati
Mulih mring jatining enggon.
“Penerawangan” Ki Pujangga belum selesai,
bagai menarik benang dari gulungannya.
Namun karena umur sudah tua
merasa hampir tiba saatnya
Kembali ke ‘tempat yang sesungguhnya’
17. Amung kurang wolung ari kang kadulu
Tamating pati patitis
Wus katon neng lokil makpul
Angumpul ing madya ari
Amerengi Sri Budha Pon.
Hanya kurang 8 hari yang terlihat,
datangnya kematian sesungguhnya
Sudah terlihat di alam ‘sana’
berkumpul pada tengah hari
Bersamaan hari Rabu Pon.
18. Tanggal kaping lima antarane luhur
Selaning tahun Jimakir
Taluhu marjayeng janggur
Sengara winduning pati
Netepi ngumpul sak enggon.
Tanggal 5 sekitar saat dhuhur
Bulan Sela (=Dzulkaidah) tahun Jimakir Wuku Tolu,
Windu Sengara (atau tanggal 24 Desember 1873)
itulah saat yang ditentukan
Ki Pujangga kembali menghadap Tuhan.
19. Cinitra ri budha kaping wolulikur
Sawal ing tahun Jimakir
Candraning warsa pinetung
Sembah mukswa pejangga ji
Ki Pujangga pamit layon.
(Karya ini) Ditulis pada hari Rabu tanggal 28
Bulan Syawal dalam tahun Jimakir
Gambaran tahunnya terhitung
(Sembah=2, Mukswa=0, Pujangga=8, Ji=1) –>1802 Jawa, atau tepat tahun 1873Masehi
Dan sang Pujangga pun kemudian mohon pamit untuk selamanya menghadap kepada yang maha Illahi.
Oleh Kanjeng Pangeran Norman Hadinegoro (Pemerhati Budaya)