Tirani Kekuasaan Ancaman Bagi Demokrasi?Oleh: H. Ujang Fahpulwaton, SE, Direktur Eksekutif UF Center
Hariansukabumi.com-Tensi politik di Indonesia pasca Pilpres April 2024 masih jauh dari mereda. Meski pasangan Prabowo-Gibran telah dinyatakan sebagai pemenang, Koalisi Indonesia Maju (KIM) tampaknya belum puas dengan pencapaian ini. Motor utama koalisi, yakni Partai Gerindra dan Partai Golkar, terus bergerak cepat, menggelar serangkaian pertemuan dengan anggota koalisi lainnya. Tujuannya jelas: memastikan paket kerjasama politik dapat terus berlanjut. Tidak berhenti di situ, KIM bahkan mengajukan proposal kerjasama kepada rival politik mereka di Pilpres, yakni Koalisi Perubahan yang beranggotakan Nasdem dan PKB.
Keputusan yang mengejutkan justru datang dari PKS, yang memutuskan untuk bergabung dengan KIM. Dengan bergabungnya PKS, nama koalisi ini pun berubah menjadi KIM Plus. Alur peristiwa politik ini tentunya membawa implikasi besar terhadap Pemilukada serentak yang akan dihelat akhir November 2024.
Hampir seluruh partai politik peserta pemilu kini berada di bawah payung KIM Plus. Akibatnya, di banyak daerah, KIM Plus mendominasi peta politik lokal, membuka peluang besar bahwa Pilkada hanya akan diikuti oleh satu pasangan calon, dengan kotak kosong sebagai lawan tanding. Situasi ini, tentu saja, memicu kekhawatiran akan minimnya kompetisi yang sehat dalam pesta demokrasi.
Namun, politik di Indonesia adalah sesuatu yang sangat dinamis dan penuh kejutan. Hanya selang satu hari setelah pengumuman pasangan calon Ridwan Kamil-Suswono yang diusung oleh KIM Plus, Mahkamah Konstitusi (MK) membuat keputusan mengejutkan. Melalui putusan Nomor 60/PUU-XXII/2024, MK mengabulkan sebagian besar judicial review atas UU Pilkada yang diajukan oleh Partai Gelora dan Partai Buruh. Putusan ini mengubah persyaratan pencalonan kepala daerah di tingkat provinsi dan kabupaten/kota pada Pemilu 2024, termasuk menurunkan ambang batas (threshold) dan memungkinkan partai politik tanpa kursi untuk mencalonkan pasangan calon ke KPUD.
MK juga menolak sebagian tuntutan, termasuk batas usia 30 tahun untuk calon gubernur dan wakil gubernur. Dengan demikian, pencalonan Kaesang, yang sebelumnya santer diberitakan akan diusung oleh KIM Plus, dipastikan tidak dapat dilanjutkan.
Dalam amar putusannya, MK menyatakan Pasal 40 ayat (1) UU Pilkada inkonstitusional dan mengubah syarat pencalonan Pilkada dengan mengaitkan jumlah Daftar Pemilih Tetap (DPT) dengan batas minimum perolehan suara sah.
Namun, KIM Plus tidak tinggal diam. Mereka merespon dengan cepat dan berencana mengajukan Peraturan Pemerintah Pengganti UU (Perppu) yang diinisiasi oleh DPR dan pemerintah. Langkah ini tampaknya dimaksudkan untuk memastikan ambisi politik KIM Plus tetap berjalan sesuai rencana, menguasai jalannya pemerintahan dari tingkat pusat hingga daerah.
Pertanyaannya, apakah langkah ini menandakan ancaman bagi demokrasi kita? Mari kita perhatikan perkembangan dinamis ini dalam minggu-minggu mendatang.