Hariansukabumi.com- Pelaku pemerkosaan terhadap 12 santriwati yakni HW atau Herry Wirawan (36), seorang guru pesantren di Kawasan Cibiru, Kota Bandung, Jawa Barat, dapat diancam tambahan hukuman kebiri. Hukuman kebiri sebagaimana diatur dalam Pasal 81 ayat 7 Peraturan Pemerintah (Perpu) Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 yang telah ditetapkan menjadi Undang-Undang (UU) Nomor 17 Tahun 2016.
Hal itu dikatakan Deputi Perlindungan Khusus Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) Nahar dalam keterangan pers Jumat (10/12/2021).
Nahar mengatakan pelaku pemerkosaan terhadap 12 santriwati tersebut layak mendapatkan hukuman seberat-beratnya atau hukuman maksimum.
“Kami mendukung proses peradilan yang sedang berlangsung serta mendorong penerapan hukuman yang tegas dan maksimum terhadap terdakwa yang telah melakukan perbuatan sangat keji terhadap anak yang ingin mendapatkan pendidikan terbaiknya,” kata Nahar.
HW, guru pesantren di Ciburi, Bandung telah memerkosa 12 santriwati di pesantren binaannya selama 5 tahun sejak 2016-2021, hingga empat santriwati melahirkan delapan anak. HW berstatus sebagai terdakwa karena telah memasuki proses peradilan terancam hukuman 20 tahun penjara.
BACA JUGA
Guru Perkosa Santriwati, Kang Emil: Hukum Seberat-beratnya
Dalam proses sidang yang sedang berlangsung, terdakwa disangkakan melanggar Pasal 81 ayat (1) dan ayat (3) Jo Pasal 76D UU Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas UU Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak Jo Pasal 65 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Pelaku terancam hukuman lebih dari 5 tahun.
Nahar mengatakan, kasus kekerasan seksual di lembaga pendidikan berasrama sangat sering berulang. KPPPA pun mengharapkan adanya langkah pencegahan yang serius dari semua pihak, baik dari pengelola lembaga pendidikan maupun melibatkan pengawasan orangtua dan pihak-pihak lainnya.
KPPPA mendorong agar setiap lembaga pendidikan dan pengasuhan, termasuk pesantren harus memiliki dan menerapkan standar pengasuhan bagi anak yang berada di bawah tanggung jawabnya.
“Kami juga mengharapkan orangtua turut mengawasi anaknya yang ditempatkan di lembaga pengasuhan atau pendidikan dan membangun komunikasi yang intens dengan anak sebagai bagian dari tanggung jawab pengasuhan yang tidak boleh dilepaskan begitu saja kepada lembaga tersebut,” ujar Nahar.
BACA JUGA
Guru Perkosa Santriwati, Wali Kota Bandung Mengaku Syok
Nahar mengatakan, lembaga pengasuhan atau pesantren wajib memberikan orientasi kepada peserta didik untuk melindungi dirinya dari segala bentuk tindak kekerasan dan memiliki akses untuk melaporkan segala bentuk perlakuan yang diterima.
Nahar menyampaikan pula saat ini korban telah mendapat pendampingan dari Lembaga Layanan Perlindungan Perempuan dan Anak yang dikoordinasikan oleh Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) Jawa Barat.
“Perhatian khusus diberikan untuk pendampingan psikososial agar anak korban pulih dan dapat kembali ke masyarakat,” kata Nahar.
Nahar meminta semua pihak termasuk media berhati-hati dalam menyampaikan informasi serta tidak memberi stigma kepada korban. Korban berhak mendapatkan perlindungan identitas diri atau privasi demi menghindari dampak-dampak buruk lainnya.
Sumber : Beritasatu.com