Hariansukabumi.com- Demokrasi, kepercayaan, dan pragmatisme merupakan elemen yang tak terpisahkan dan penting dalam konteks tahun politik menuju kontestasi Pilpres dan Pileg 2024.
Demokrasi, kepercayaan, dan pragmatisme adalah tiga konsep yang saling terkait dan penting dalam konteks politik dan pengambilan keputusan
Berbicara mengenai demokrasi, hal tersebut sebenarnya adalah tentang kebebasan dan tanggung jawab individu atau kelompok untuk menentukan apa yang mereka inginkan, seperti dalam kontestasi politik. Demokrasi memberikan kebebasan untuk memilih siapa yang akan didukung dan dipilih dengan mempertimbangkan faktor-faktor seperti kedekatan, hubungan keluarga, rekam jejak, atau pragmatisme.
Kemudian ada yang namanya kepercayaan. Kepercayaan merupakan fondasi penting dalam demokrasi. Hal ini mencakup kepercayaan masyarakat terhadap pemimpin politik, institusi, dan proses demokrasi itu sendiri. Kepercayaan yang tinggi dari rakyat terhadap pemimpin dan lembaga negara membantu memperkuat stabilitas politik dan legitimasi kekuasaan yang dijalankan baik itu dalam pemilihan Calon Presiden, Calon Gubernur, Calon Bupati atau Walikota, maupun Calon Anggota Legislatif atau Calon Wakil Rakyat.
Kepercayaan merupakan modal bagi para calon pemimpin di berbagai tingkatan untuk mendapatkan dukungan dan pilihan dari rakyatnya. Dalam perkembangan demokrasi yang semakin maju dan berkembang seiring dengan kemajuan teknologi yang tak terbatas, setiap kejadian di berbagai penjuru dunia dapat diketahui dengan mudah. Kepercayaan yang diperoleh oleh seorang pemimpin dalam kontestasi politik akan meningkatkan optimisme calon tersebut untuk meraih dukungan dan suara dari rakyatnya. Secara sederhana, popularitas dan elektabilitas yang dimiliki oleh calon akan menentukan kemenangan dalam kontestasi baik Pilpres maupun Pileg.
Namun, untuk memperoleh kepercayaan bukanlah hal yang mudah karena berkaitan dengan kinerja dan rekam jejak calon pemimpin. Terutama bagi calon pemimpin yang masih menjabat (incumbent) dan mencalonkan diri kembali, kepercayaan menjadi taruhan utama untuk kembali mendapatkan dukungan dan pilihan dari rakyatnya.
Lalu elemen lainnya adalah Pragmatisme. Munculnya pragmatisme pada masyarakat dalam konteks politik adalah karena kurangnya kepercayaan pada calon pemimpin yang diusung. Mereka cenderung berorientasi pada keuntungan pribadi tanpa melibatkan penilaian yang jujur, yang bahkan tindakan tersebut bisa jadi bertentangan dengan ideologi ataupun prinsip mereka sendiri.
Bahkan politik pragmatisme pun dapat ditemui yang dilakukan oleh banyak para politisi, meskipun seringkali juga mendapat cibiran ataupun kritikan dari berbagai kalangan. Karena mereka menilai Politisi seharusnya mengedepankan nilai-nilai yang luhur dan mengedepankan prinsip-prinsip tersebut daripada hanya menginginkan hasil dari kepraktisan semata.
Dengan politik pragmatis sebetulnya ada hal-hal positif yang bisa diambil seperti efektivitas, adaptabilitas dan solusi kompromi.
Namun, penting untuk diingat bahwa terlalu banyak pragmatisme tanpa mempertimbangkan prinsip dan nilai-nilai yang mendasari dapat merusak integritas dan moralitas dalam politik. Oleh karena itu, keseimbangan antara pragmatisme dan prinsip yang kuat perlu dijaga agar keputusan politik tetap bermanfaat dan sesuai dengan kepentingan publik
Secara keseluruhan, pragmatisme politik adalah pendekatan yang melihat politik sebagai seni kompromi dan penyesuaian yang didasarkan pada realitas politik dan kepentingan praktis. Tetapi pada akhirnya banyak yang terjerumus ke dalamnya dengan mengorbankan nilai dan prinsip yang mereka usung.
Banyaknya politisi yang melakukan hal tersebut, ternyata membuat Hilangnya kepercayaan masyarakat pada mereka.
Dan masyarakat pemilih kemudian mencontoh apa yang telah dilakukan pada mereka, untuk diterapkan pada politisi.
Tentu kita masih ingat dengan slogan “Ambil uangnya jangan colok orangnya”.
Slogan “ambil uangnya jangan colok orangnya” mencerminkan sikap pragmatis dalam konteks politik yang dapat memiliki dampak negatif pada proses demokrasi. Slogan tersebut menyiratkan bahwa pemilih seharusnya menerima atau mengambil imbalan finansial atau materi sebagai imbalan atas dukungan mereka, tanpa memperhatikan kualifikasi, rekam jejak, atau integritas calon yang mereka pilih.
Pendekatan seperti ini menempatkan kepentingan pribadi dan keuntungan materi di atas pertimbangan moral, etika, dan kepentingan publik yang lebih luas. Hal ini dapat merusak prinsip keadilan, transparansi, dan akuntabilitas dalam proses politik. Jika pemilih hanya berfokus pada imbalan finansial yang diberikan oleh calon tanpa mempertimbangkan kualifikasi dan integritas mereka, hal ini dapat menghasilkan pemimpin yang tidak berkualitas dan berpotensi melakukan tindakan korupsi atau melanggar prinsip-prinsip demokrasi.
H.Ujang Fahpulwaton Pendiri UF Center