Hariansukabumi.com-Tuduhan penggelembungan suara dan manipulasi hasil pemilu sering muncul dalam dunia politik, dan sering kali dilaporkan ke Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai benteng terakhir dalam mencari keadilan. Langkah ini dianggap sebagai cara terkahir bagi pihak yang merasa dirugikan untuk mempertahankan integritas proses demokrasi, meskipun proses hukum yang panjang dan kompleks seringkali menjadi tantangan. Banyak kasus berakhir dengan kemenangan pihak tergugat, ada kalanya pihak penggugat juga berhasil membuktikan tuduhan mereka dan memperoleh keadilan yang mereka tuntut.
Kini, persoalan serupa muncul pada Pilkada 2024 Kabupaten Sukabumi, yang datang dari tim kuasa hukum paslon nomor urut 1 Iyos-Zaenul. yang mengajukan permohonan PHPU pada 10 Desember 2024 lalu. Kuasa hukum mereka, Saleh Hidayat, menuduh adanya penggelembungan suara di 469 TPS yang tersebar di 27 kecamatan di Kabupaten Sukabumi, serta adanya dugaan keterlibatan Birokrasi, aparatul sipil negara (ASN) dalam mendukung Paslon nomor urut 02. Permohonan ini tercatat dengan nomor 237/PAN.MK/e-AP3/12/2024. Tidak hanya itu pihak pemohon juga menyatakan bahwa ada sebuah tindakan yang dilakukan secara terstruktur, sistematis, dan massif (TSM) dalam memenangkan pasangan calon Asep Japar -Andreas pada Pilkada tersebut
Oleh karena itu, dalam petitum yang dimohonkan kepada MK, mereka meminta agar hasil pemilu tersebut dianulir, dianggap cacat, dan tidak sah. Atau setidaknya, mereka mengajukan agar proses pemungutan suara diuji kembali melalui pemungutan suara ulang untuk memastikan keabsahan hasil pemilihan yang lebih adil dan transparan
Tentu saja, tuduhan semacam ini tidak bisa dianggap remeh. Namun, seperti banyak masyarakat lain pikirkan, saya sendiri merasa apakah tuduhan tersebut benar adanya? Ataukah hanya sekadar tuduhan yang dilontarkan karena rasa sakit hati setelah dikalahkan oleh orang yang sebelumnya dianggap sebagai “anak buah” di pemerintahan terdahulu?
Maka pada kali ini, kita akan coba mendalami seperti apa permohonan pihak yang kalah tersebut ke MK dan bagaimana peluang penggugat dalam memenangkan perkara ini, dengan menganalisis tuduhan yang diajukan, bukti-bukti yang disertakan, serta jawaban dari termohon dalam hal ini kuasa hukum dari KPU Kabupaten Skabumi.
Sebelumnya pada tanggal 17 Januari yang lalu Ramdhany Tri Saputra selaku kuasa hukum Termohon (KPU Kabupaten Sukabumi) memberikan jawaban dan menyampaikan bantahan dalam Sidang Mendengarkan Jawaban Termohon, Keterangan Pihak Terkait, dan Keterangan Bawaslu, serta Pengesahan Alat Bukti Para Pihak di Gedung II Mahkamah Konstitusi (MK) di depan Majelis Panel Hakim 1 yakni Ketua MK Suhartoyo bersama Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh dan Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah.
Kuasa hukum termohon secara tegas menjelaskan bahwa penggelembungan suara yang didalilkan Pemohon, tidak tepat, sebab salah dalam menyertakan data. Menurut Termohon, kesalahan terletak pada tabel yang hanya mencantumkan daftar pemilih laki-laki.
Termohon menyatakan bahwa dalam tabel tabulasi yang disampaikan pemohon, khususnya yang terkait dengan kolom surat suara sah dan tidak sah, yang dianggap menunjukkan adanya selisih atau penggelembungan, yang sebenarnya merupakan hasil dari kesalahan pihak Pemohon sendiri. Kesalahan tersebut terjadi karena Pemohon hanya memasukkan data total pemilih berdasarkan daftar pemilih untuk jenis kelamin laki-laki saja, tanpa memperhitungkan jumlah pemilih perempuan. Yang mana hal ini menyebabkan perbedaan dalam angka yang diajukan. Untuk itu termohon berpendapat bahwa tuduhan penggelembungan suara tidaklah berdasar
Selanjutnya dalam persidangan tersebut, Termohon menyebut bahwa Pemohon hanya mengambil contoh di tiga TPS, yaitu TPS 8 Desa Berekah, TPS 6 Desa Ciwalet, dan TPS 17 Desa Cidahu. Termohon berpendapat bahwa sampling yang digunakan Pemohon tidak mencantumkan lembaga survei yang dipakai, serta tidak menyertakan sertifikat yang sah. Selain itu, tiga TPS tersebut dinilai tidak mewakili keseluruhan TPS yang ada di Kabupaten Sukabumi.
Apalagi dikatakan, tiga TPS yang disebutkan dalam permohonan juga telah diterbitkan Surat Rekomendasi. Salah satunya, yakni TPS 8 Desa Berekah Kecamatan Bojonggenteng, yang telah direkomendasikan untuk dilakukan pemungutan suara ulang, yang kemudian rekomendasi tersebut telah dilaksanakan pada 6 Desember, seperti yang disampaikan oleh Mohamad Muidul Fitri Atoilah, Anggota Bawaslu Sukabumi, yang hadir di persidangan.
Sementara untuk TPS lainnya, rekomendasi juga telah diterbitkan berkaitan yaitu yang berhubungan dengan masalah etik, dan telah pula telah ditindaklanjuti dengan adanya instruksi pembinaan dari KPU kepada panitia pemungutan suara (PPS)
Adapun mengenai tuduhan penggelembungan suara, Bawaslu Sukabumi sendiri mengaku tidak pernah menerima laporan mengenai hal tersebut. Meskipun demikian, Bawaslu Sukabumi mengakui adanya pelaporan terkait kejadian khusus di 11 kecamatan. Dari 11 kecamatan tersebut, 10 di antaranya mengalami kejadian yang sama, yaitu saksi dari Pemohon enggan membubuhkan tanda tangan saat rekapitulasi hasil perolehan suara. Namun, kesalahan tersebut juga sudah diperbaiki saat rekapitulasi tingkat kecamatan.
Kemudian yang sedikit fatal menurut Termohon adalah bahwa pemohon salah menggunakan dasar hukum, yang menggunakan dasar hukum yang sudah tidak berlaku yakni peraturan MK nomor 6 tahun 2020. Sedangkan peraturan itu telah dicabut dan sudah tidak berlaku lagi. Selain itu melalui jawaban termohon melalui surat kepada MK, terdapat banyak sekali kesalahan ataupun ketidakjelasan tuduhan yang disampaikan oleh Pemohon.
Nah dari beberapa poin yang disampaikan oleh pihak Termohon maupun Bawaslu Kabupaten Sukabumi baik di depan persidangan maupun yang tertulis, kita dapat melihat gambaran bahwa tuduhan yang diajukan oleh Pemohon terhadap KPU Kabupaten Sukabumi memiliki dasar yang sangat lemah. Bahkan, dalam jawaban kuasa hukum KPU tersebut menyatakan bahwa tuduhan Pemohon tersebut kabur, tidak jelas, atau dalam istilah hukum dikenal sebagai obscuur libel yang menunjukkan bahwa tuduhan yang dilontarkan tidak didasarkan pada bukti yang cukup kuat atau fakta yang jelas, sehingga sulit untuk diterima sebagai dasar klaim yang sah.
Kemudian selanjutnya menyangkut dalil Pemohon mengenai dugaan pelanggaran secara terstruktur, sistematis, dan masif (TSM), yang akan kita gali lebih dalam khususnya terkait pelibatan aparatur sipil negara (ASN) dan birokrasi.
Pada kesempatan itu kuasa hukum termohon menyampaikan bahwa tuduhan itu jika benar adanya, namun mengapa tuduhan tersebut tidak pernah dilaporkan kepada pihak-pihak yang berwenang, apalagi tuduhan itu disampaikan ketika tenggang waktu yang telah ditentukan oleh peraturan perundang-undangan telah habis. Sehingga dalam hal ini kuasa hukum KPU tersebut berpendapat bahwa tuduhan tersebut tidak dapat diterima karena tidak memenuhi prosedur pelaporan yang sah.
Kita akan mengulas apa itu TSM (terstruktur, sistematis, dan masif).
istilah ini beberapa waktu lalu mungkin sering kita dengar, terutama selama Pilpres 2019, yaitu ketika Prabowo mencalonkan sebagai presiden dan sering melontarkan tuduhan tersebut untuk melegitimasi temuan dari timnya.
Namun, tahukah kita bahwa meskipun istilah ini begitu sering muncul di media, tuduhan TSM tersebut tidak menjadi bukti yang kuat di pengadilan? Mengapa demikian? Karena dugaan TSM, jika memang adapun, akan sangat sulit untuk dibuktikan secara konkret, karena itu akan melibatkan banyak pihak, banyak di sini bukan hanya sekedar puluhan tapi bisa ratusan bahkan ribuan orang.
Bila kita mengacu pada KBBI, kalimat terstruktur itu bisa diartikan adanya sebuah organisasi yang jelas, dengan langkah-langkah yang direncanakan dan dilaksanakan sesuai dengan sebuah mekanisme atau sistem yang telah diatur sedemikian rupa dalam mewujudkan sebuah tujuan yang hendak dicapai. Kemudian istilah sistematis merupakan sebuah tindakan yang terencana, berurutan dan terorganisir.
Kemudian istilah masif adalah sebuah keterlibatan yang dilakukan oleh suatu kelompok atau orang dalam skala yang sangat besar, dan mempunyai dampak yang juga sangat luas.
Nah, jika kita tarik istilah terstruktur, sistematis, dan masif (TSM) tersebut ke dalam konteks pilkada ini, semisal saja tuduhan ini benar, seharusnya ada indikasi yang jelas dong, baik dari kemenangan yang besar, laporan masyarakat, temuan media, atau bukti lainnya yang mendukung klaim tersebut.
Namun, pada kenyataannya, hampir tidak ada bukti kongkrit yang dapat menunjukkan adanya keterlibatan ASN maupun birokrat di Kabupaten Sukabumi seperti yang dituduhkan.
Sekarang, di zaman yang begitu canggih ini, jika keterlibatan tersebut benar-benar terjadi, jejak administratif atau jejak digital akan sangat mudah terlacak dengan jelas. Misalnya, surat perintah atau bentuk koordinasi yang terstruktur dari yang paling atas sebagian pemberi instruksi hingga pada level bawah yang menerima instruksi tersebut. Namun, itu tidak kita temui. Bahkan, jika kita mengecek beberapa media, Marwan Hamami yang juga ikut dituduh oleh Pemohon sebagai tim sukses, ternyata mengajak dan mengimbau seluruh ASN di Kabupaten Sukabumi untuk bersikap netral dalam pilkada tersebut. Lalu, bagaimana tuduhan ini bisa dilekatkan pada Marwan Hamami, jika dia justru mengimbau ASN untuk tidak terlibat dalam politik praktis? Kan sangat bertolak belakang sekali.
Dan yang lebih aneh dan tidak masuk akalnya lagi adalah, jika benar ada keterlibatan ASN yang terstruktur, sistematis, dan masif dalam mendukung Paslon Nomor Urut 2, mengapa hal itu tidak diketahui oleh Iyos Somantri sendiri, yang padahal saat itu menjabat sebagai Wakil Bupati Sukabumi? Sebagai pemimpin dalam struktur birokrasi, seharusnya Iyos Somantri memiliki kontrol yang cukup untuk mengetahui pergerakan dan tindakan anak buahnya di kalangan ASN.
Sangat tidak masuk akal jika Iyos tidak menyadari atau tidak mengetahui apa yang dilakukan oleh para ASN yang berada di bawah kepemimpinannya, terlebih jika itu melibatkan banyak orang dan dilakukan secara massif. Karena sebagai pemimpin tentu Iyos memiliki kewenangan dan akses untuk mengawasi kinerja ASN dan birokrasi yang ada.
Untuk itu, sekali lagi, dalam mempertegas apa yang telah disampaikan oleh kuasa hukum Termohon, saya juga sangat sepakat bahwa apa yang disampaikan oleh Pemohon kepada majelis hakim sangat lemah sekali. Tuduhan yang diajukan tidak didukung oleh bukti yang cukup kuat, dan sulit untuk diterima sebagai dasar klaim yang sah.Berdasarkan argumen-argumen yang ada. Saya meyakin sekalii bahwa pihak MK tidak akan mengabulkan permohonan dari Pemohon tersebut.
Untuk itu, bukannya saya ingin melemahkan perjuangan dari Pemohon, tapi cobalah untuk realistis dalam melihat persoalan ini. Sebaiknya, para Pemohon mempertimbangkan kembali dan mencabut permohonan mereka terhadap MK, karena ini hanya akan memperpanjang dan memperdalam perseteruan yang sudah ada.
Biarkan proses yang seharusnya terjadi berjalan sesuai dengan mekanismenya, dan biarkan masyarakat mendapatkan pilihan mereka pada periode ini. Siapa tahu, pada periode yang akan datang, Anda bisa ikut kembali dalam kontestasi lima tahunan ini dan bahkan memenangkan kontestasi tersebut.
Intinya, cobalah untuk legowo dan berlapang dada dengan hasil yang telah ada. Lebih baik fokus pada upaya yang dapat membawa perdamaian dan kesejahteraan bagi semua pihak, daripada terjebak dalam konflik yang tidak produktif. Dengan begitu, kita semua bisa lebih maju dan harmonis, tanpa terpecah belah oleh perbedaan yang tidak perlu
Azhar Vilyan
Mahasiswa Program Magister Ilmu Komunikasi Politik Universitas Paramadina.